METODE PENGUKURAN TRIGONOMETRIS

21 April 2015


A.    METODE PENGUKURAN TRIGONOMETRIS
Metode trigonometris prinsipnya adalah mengukur jarak langsung (jarak miring), tinggi alat, tinggi benang tengah rambu dan sudut vertikal (zenith atau inklinasi) yang kemudian direduksi menjadi informasi beda tinggi menggunakan alat theodolite. Seperti telah dibahas sebelumnya, beda tinggi antara dua titik dihitung dari besaran sudut tegak dan jarak. Sudut tegak diperoleh dari pengukuran dengan alat theodolite sedangkan jarak diperoleh atau terkadang diambil jarak dari peta.
Pada pengukuran tinggi dengan cara trigonometris ini, beda tinggi didapatkan secara tidak langsung, karena yang diukur di sini adalah sudut miringnya atau sudut zenith. Bila jarak mendatar atau jarak miring diketahaui atau diukur, maka dengan memakai hubungan - hubungan geometris dihitunglah beda tinggi yang hendak ditentukan itu. 

Bila jarak antara kedua titik yang hendak ditentukan beda tingginya tidak jauh, maka kita masih dapat menganggap bidang nivo sebagai bidang datar, akan tetapi bila jarak yang dimaksudkan itu jauh, maka kita tidak boleh lagi memisahkan atau mengambil bidang nivo itu sebagai bidang datar, tetapi haruslah bidang nivo itu dipandang sebagai bidang lengkung, Disamping itu kita harus pula menyadari bahwa jalan sinarpun bukan merupakan garis lurus, tetapi merupakan garis lengkung. Jadi jika jarak antara kedua titik yang akan ditentukan beda tingginya itu jauh, maka bidang nivo dan jalan sinar tidak dapat dipandang sebagai bidang datar dan garis lurus, tetapi haruslah dipandang sebagai bidang lengkung dan garis lengkung.

Titik A dan B akan ditentukan beda tingginya dengan cara trigonometris. Prosedur pengukuran dan perhitungannya adalah sebagai berikut:
1.      Tegakkan theodolite di A, ukur tingginya sumbu mendatar dari A. Misalkan t,
2.      Tegakkan target di B, ukur tingginya target dari B, misalkan l,
3.      Ukur sudut tegak m (sudut miring) atau z (sudut zenith),
4.      Ukur jarak mendatar D atau Dm (dengan EDM), dan
5.      Dari besaran-besaran yang diukur, maka:
Sudut tegak ukuran perlu mendapat koreksi sudut refraksi dan bidang-bidang nivo melalui A dan B harus diperhitungkan sebagai  Permukaan yang melengkung apabila beda tinggi dan jarak AB besar dan beda tinggi akan ditentukan lebih teliti. Lapisan udara dari B ke A akan berbeda kepadatannya karena sinar cahaya yang datang dari target B ke teropong theodolite akan melalui garis melengkung. Makin dekat ke A makin padat. Dengan adanya kesalahan karena faktor alam tersebut di atas hitungan beda tinggi perlu mendapat koreksi.
Dimana:
k = koefisien refraksi udara = 0.14
R = jari-jari bumi 6370 km
Besarnya sudut refraksi udara r dapat dihitung dengan rumus:
R = rm . Cp . Ct
rm = sudut refraksi normal pada tekanan udara 760 mmHg, temperatur udara 100C dan kelembaban nisbi 60%

Agar beda tinggi yang didaptkan lebih baik, maka pengukuran harus dilakukan bolakbalik. Kemudian hasilnya dirata - ratakan, dapat pula beda tinggi dihitung secara serentak dengan rumus:

dimana:
HA dan HB tinggi pendekatan A dan B (dari peta topografi)
m1’, m2’ sudut miring ukuran di A dan Bt dan 1 dibuat sama tinggi.

A.    TRIGONOMETRICAL LEVELING

Menutut (Wongsotjitro, 1980), beda tinggi antara dua titik dapat ditentukan dengan tiga cara yaitu: Barometris, Trigonometris dan pengukuran menyipat datar. Ketiga metode tersebut mempunyai ketelitian yang berbeda-beda. Hasil ketelitian terbesar adalah dengan cara pengukuran menyipat datar dan ketelitian terkecil adalah metode Barometer. Metode trigonometris adalah suatu proses penentuan beda tinggi dari titik-titik pengamatan dengan cara mengukur sudut miring atau sudut vertikalnya dengan jarak yang diketahui, baik jarak dalam bidang datar maupun jarak geodetis (Basuki, 2006). Pengukuran sudut vertikal atau kemiringan dapat menggunakan theodolith atau kompas survei. 
Prinsip-prinsip yang digunakan pada pengukuran lingkup ukur tanah yaitu jarak antar titik yang akan ditentukan beda tingginya tidak terlalu jauh, sehingga pengaruh kelengkungan bumi dan refraksi dapat diabaikan atau diadakan koreksi linier dalam perhitungannya. Berbeda dengan lingkup geodesi, pengukuran beda tinggi titik pengukurannya relatif jauh sehingga harus memperhatikan kelengkungan bumi. Prinsip-prinsip umum bidang datar tidak dapat diterapkan pada pengukuran beda tinggi ini. Nilai sudut vertikal dan horizontal harus dikoreksi dengan kelengkungan bumi dan refraksi.
Triginometrikal atau trigonometrikal levelling dibagi menjadi dua yaitu trigonometrikal levelling segitiga dan memanjang. Metode trigonometri memanjang merupakan pengukuran menggunakan dua titik yang terletak dalam segaris lurus dengan obyek. Metode trigonometri segitiga menggunakan dua titik pengukuran yang membentuk sudut dan membentuk segitiga dengan obyek pengamatan. Kedua cara tersebut menggunakan prinsip atau sifat segitiga.







        B.     MENGUKUR JARAK BINTANG DENGAN METODE PARALAKS TRIGONOMETRI
Paralaks adalah perbedaan latar belakang yang tampak ketika sebuah benda yang diam dilihat dari dua tempat yang berbeda. Kita bisa mengamati bagaimana paralaks terjadi dengan cara yang sederhana. Acungkan jari telunjuk pada jarak tertentu (misal 30 cm) di depan mata kita. Kemudian amati jari tersebut dengan satu mata saja secara bergantian antara mata kanan dan mata kiri. Jari kita yang diam akan tampak berpindah tempat karena arah pandang dari mata kanan berbeda dengan mata kiri sehingga terjadi perubahan pemandangan latar belakangnya. “Perpindahan” itulah yang menunjukkan adanya paralaks.
Paralaks juga terjadi pada bintang, setidaknya begitulah yang diharapkan oleh pemerhati dunia astronomi ketika model heliosentris dikemukakan pertama kali oleh Aristarchus (310-230 SM). Dalam model heliosentris itu, Bumi bergerak mengelilingi Matahari dalam orbit yang berbentuk lingkaran. Akibatnya, sebuah bintang akan diamati dari tempat-tempat yang berbeda selama Bumi mengorbit. Dan paralaks akan mencapai nilai maksimum apabila kita mengamati bintang pada dua waktu yang berselang 6 bulan (setengah periode revolusi Bumi). Namun saat itu tidak ada satu orangpun yang dapat mendeteksinya sehingga Bumi dianggap tidak bergerak (karena paralaks dianggap tidak ada). Model heliosentris kemudian ditinggalkan orang dan model geosentrislah yang lebih banyak digunakan untuk menjelaskan perilaku alam semesta.
Paralaks pada bintang baru bisa diamati untuk pertama kalinya pada tahun 1837 oleh Friedrich Bessel, seiring dengan teknologi teleskop untuk astronomi yang berkembang pesat (sejak Galileo menggunakan teleskopnya untuk mengamati benda langit pada tahun 1609). Bintang yang ia amati adalah 61 Cygni (sebuah bintang di rasi Cygnus/angsa) yang memiliki paralaks 0,29″. Ternyata paralaks pada bintang memang ada, namun dengan nilai yang sangat kecil. Hanya keterbatasan instrumenlah yang membuat orang-orang sebelum Bessel tidak mampu mengamatinya. Karena paralaks adalah salah satu bukti untuk model alam semesta heliosentris (yang dipopulerkan kembali oleh Copernicus pada tahun 1543), maka penemuan paralaks ini menjadikan model tersebut semakin kuat kedudukannya dibandingkan dengan model geosentris Ptolemy yang banyak dipakai masyarakat sejak tahun 100 SM.
Setelah paralaks bintang ditemukan, penghitungan jarak bintang pun dimulai. Lihat ilustrasi di bawah ini untuk memberikan gambaran bagaimana paralaks bintang terjadi. Di posisi A, kita melihat bintang X memiliki latar belakang XA. Sedangkan 6 bulan kemudian, yaitu ketika Bumi berada di posisi B, kita melihat bintang X memiliki latar belakang XB. Setengah dari jarak sudut kedua posisi bintang X itulah yang disebut dengan sudut paralaks. Dari sudut inilah kita bisa hitung jarak bintang asalkan kita mengetahui jarak Bumi-Matahari.



Dari geometri segitiga kita ketahui adanya hubungan antara sebuah sudut dan dua buah sisi. Inilah landasan kita dalam menghitung jarak bintang dari sudut paralaks (lihat gambar di bawah). Apabila jarak bintang adalah d, sudut paralaks adalah p, dan jarak Bumi-Matahari adalah 1 SA (Satuan Astronomi = 150 juta kilometer), maka kita dapatkan persamaan sederhana.
tan p = 1/d
atau d = 1/p, karena p adalah sudut yang sangat kecil sehingga tan p ~ p.


Jarak d dihitung dalam SA dan sudut p dihitung dalam radian. Apabila kita gunakan detik busur sebagai satuan dari sudut paralaks (p), maka kita akan peroleh d adalah 206265 SA atau 3,09 x 10^13 km. Jarak sebesar ini kemudian didefinisikan sebagai 1 pc (parsec, parsek), yaitu jarak bintang yang mempunyai paralaks 1 detik busur. Pada kenyataannya, paralaks bintang yang paling besar adalah 0,76″ yang dimiliki oleh bintang terdekat dari tata surya, yaitu bintang Proxima Centauri di rasi Centaurus yang berjarak 1,31 pc. Sudut sebesar ini akan sama dengan sebuah tongkat sepanjang 1 meter yang diamati dari jarak 270 kilometer. Sementara bintang 61 Cygni memiliki paralaks 0,29″ dan jarak 1,36 tahun cahaya (1 tahun cahaya = jarak yang ditempuh cahaya dalam waktu satu tahun = 9,5 trilyun kilometer) atau sama dengan 3,45 pc.
 Hingga tahun 1980-an, paralaks hanya bisa dideteksi dengan ketelitian 0,01″ atau setara dengan jarak maksimum 100 parsek. Jumlah bintangnya pun hanya ratusan buah. Peluncuran satelit Hipparcos pada tahun 1989 kemudian membawa perubahan. Satelit tersebut mampu mengukur paralaks hingga ketelitian 0,001″, yang berarti mengukur jarak 100.000 bintang hingga 1000 parsek. Sebuah katalog dibuat untuk mengumpulkan data bintang yang diamati oleh satelit Hipparcos ini. Katalog Hipparcos yang diterbitkan di akhir 1997 itu tentunya membawa pengaruh yang sangat besar terhadap semua bidang astronomi yang bergantung pada ketelitian jarak.







1 komentar:

  1. Metode Pengukuran Trigonometris >>>>> Download Now

    >>>>> Download Full

    Metode Pengukuran Trigonometris >>>>> Download LINK

    >>>>> Download Now

    Metode Pengukuran Trigonometris >>>>> Download Full

    >>>>> Download LINK

    BalasHapus